BONE, BONETERKINI.ID – Pesantren Al-Junaidiyah Biru berdiri sebagai tonggak penting dalam sejarah pendidikan Islam di Kabupaten Bone. Lembaga ini tidak hanya menjadi pesantren pertama di Bone, tetapi juga pelopor konsep pesantren modern yang menyatukan pendidikan tradisional dan sistem formal dalam satu kesatuan utuh.
K.H. Junaid Sulaiman merintis pesantren ini pada tahun 1969. Saat itu, ia mendirikan Ma’had Hadits Biru dengan fokus pada program penghafalan Al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning. Di tahap awal, para santri mengikuti sistem halaqah yang dipimpin langsung oleh K.H. Junaid, seorang ulama kelahiran Desa Kading, Kecamatan Awangpone, Bone, pada 19 Agustus 1921.
Keinginan kuat untuk mengembangkan sistem pendidikan Islam yang modern mendorong K.H. Junaid melakukan transformasi besar. Pada 1972, ia bertemu dengan Pangdam VII Wirabuana, Abdul Aziz, dan membahas kebutuhan mendesak akan lembaga pendidikan Islam berbasis sistem modern. Pertemuan itu menjadi awal dari proses modernisasi pesantren di Bone.
K.H. Junaid langsung bertindak. Ia melakukan kunjungan ke sejumlah pesantren modern terkemuka di Jawa seperti Gontor dan Jombang. Setelah meneliti dan menyerap sistem pendidikan mereka, ia kembali ke Bone dan mengadakan pertemuan penting di Jakarta bersama tokoh-tokoh nasional dan daerah, termasuk Andi Pangerang Pettarani, M. Daud Ismail, M. Jusuf, dan tokoh lainnya.
Hasil pertemuan itu melahirkan kesepakatan resmi tentang pendirian pesantren modern di Bone. Maka pada 1973, Ma’had Hadits Biru berubah nama menjadi Pesantren Al-Junaidiyah Biru. Nama ini diambil dari nama pendirinya, sekaligus untuk menghormati jasa dan dedikasinya dalam dunia pendidikan Islam.
Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama. Pesantren Al-Junaidiyah Biru mulai membuka lembaga pendidikan formal. Pada 1982, mereka mendirikan Raudhatul Athfal (TK). Empat tahun kemudian, Madrasah Tsanawiyah dibuka, lalu disusul Madrasah Aliyah pada 1987. Seluruh lembaga pendidikan ini menggabungkan kurikulum Kementerian Agama dengan kurikulum khas pesantren. Setiap santri lulus membawa dua ijazah sekaligus: ijazah negeri dan ijazah pesantren.
Pesantren Al-Junaidiyah Biru terletak di Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang, sekitar dua kilometer dari pusat kota Watampone. Letaknya sangat strategis dan mudah diakses dari berbagai penjuru Kabupaten Bone. Keunggulan lokasi ini turut memperkuat peran pesantren dalam masyarakat.
Pesantren ini menarik banyak tokoh ulama lokal. K.H. Syamsuri, K.H. Muhammad Rusayid, dan K.H. Latif Amien turut berkontribusi dalam membina santri di lembaga ini. Mereka mengajarkan berbagai cabang ilmu keislaman seperti tafsir, fikih, hadis, dan akhlak. Seluruh kegiatan berlangsung dengan sistem klasikal, tanpa melepaskan identitas pesantren tradisional.
Pesantren Al-Junaidiyah Biru tidak hanya mendidik santri secara akademik. Pesantren ini juga menanamkan prinsip berpikir terbuka. Santri tidak diwajibkan mengikuti mazhab tertentu, melainkan diajak memahami semua mazhab besar dalam Islam. Sikap ini menghasilkan lulusan yang moderat dan bijak dalam menyikapi perbedaan.
Selain mendidik santri, pesantren juga aktif berdakwah ke masyarakat. Santri dan alumni menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin melalui khutbah Jumat, pengajian, dan majelis taklim di masjid-masjid. Pesantren menjadi pusat kaderisasi ulama sekaligus garda dakwah Islam di Bone.
Tahun 1983, K.H. Junaid Sulaiman mengambil langkah lebih besar dengan menggagas kerja sama antar-pesantren. Ia mengajak tiga pesantren besar di Sulawesi Selatan: As’adiyah Sengkang, Darul Dakwah Al-Irsyad Parepare, dan Yatrib Soppeng, untuk membentuk perguruan tinggi Islam. Lembaga ini bernama Ma’had Dirasa Al-Islamiyah Al-Ulya dan bertujuan mencetak ulama muda.
Lembaga itu menjadi cikal bakal Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI Sulsel. Pada awal berdirinya, lembaga ini beroperasi di As’adiyah, lalu berpindah ke Yatrib Soppeng. Mahasiswa yang lulus memperoleh gelar Kyai Muda (K.M.). Sebagian besar alumninya kini menjadi tokoh agama berpengaruh di Sulawesi Selatan.
K.H. Junaid Sulaiman wafat di Makassar dalam usia 75 tahun. Ia dimakamkan di Talumae, Watampone, sesuai dengan wasiat pribadinya. Pemikiran dan perjuangannya tetap hidup melalui ribuan alumni Pesantren Al-Junaidiyah Biru yang tersebar di berbagai pelosok negeri.
Pesantren Al-Junaidiyah Biru kini menjadi simbol kebangkitan pendidikan Islam modern di Bone. Keberhasilannya mencetak generasi ulama, pendidik, dan pemimpin masyarakat menjadikan pesantren ini warisan monumental yang terus memberi cahaya ilmu bagi generasi berikutnya.