BONE, BONETERKINI.ID – Di tengah keyakinan lokal yang kerap diwariskan turun-temurun, persoalan boleh atau tidaknya menikah di bulan Muharram kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam. Sebagian masyarakat, khususnya di Bugis, masih meyakini bahwa bulan Muharram—atau yang dikenal pula sebagai bulan Suro dalam kalender Jawa—merupakan bulan pantangan untuk menggelar pernikahan. Namun, benarkah demikian menurut pandangan Islam?
Islam menempatkan pernikahan sebagai salah satu ibadah yang sangat dianjurkan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surah Ar-Ruum ayat 21. Allah SWT menjelaskan bahwa salah satu tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan pasangan hidup bagi manusia agar mereka hidup dalam ketenteraman, penuh cinta dan kasih sayang. Maka, segala bentuk penghalang yang tidak memiliki dasar dalam syariat—termasuk larangan waktu menikah—perlu dikaji secara ilmiah dan keagamaan.
Hukum Menikah di Bulan Muharram
Secara umum, hukum menikah tetap diperbolehkan kapan pun sepanjang tidak sedang dalam kondisi ihram untuk haji atau umrah. Ini ditegaskan dalam berbagai fatwa ulama, salah satunya disampaikan oleh Syekh Hasanain Makhluf, seorang Mufti Mesir, yang menegaskan bahwa larangan menikah di bulan Muharram tidak memiliki dasar agama sama sekali. Bahkan ia menyebut, “Pendapat itu hanyalah bagian dari kebodohan orang-orang awam.”
Pandangan ini sejalan dengan fatwa resmi dari Dar al-Ifta’ Mesir, lembaga fatwa tertinggi di negara tersebut. Dalam salah satu nash fatwanya disebutkan:
“Tidak boleh ada anggapan kesialan dalam akad nikah yang dilakukan pada hari atau bulan tertentu seperti pada bulan Syawal, Muharram, Shafar, dan lain-lain. Tidak ada dalil yang melarang pernikahan di waktu tersebut, kecuali saat ihram dalam haji atau umrah.”
(Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah 10/25)
Artinya, Islam secara eksplisit tidak pernah membatasi pelaksanaan pernikahan pada waktu tertentu kecuali dalam kondisi tertentu seperti saat berihram. Oleh karena itu, mengaitkan bulan Muharram dengan kesialan atau bahaya pernikahan adalah keyakinan yang tidak memiliki pijakan dalam ajaran Islam.
Menikah di Bulan Muharram Bagi Orang Bugis
Di kalangan masyarakat Bugis, bulan Muharram sering dihindari untuk menyelenggarakan pernikahan. Mitos-mitos yang berkembang menyebut bahwa menikah di bulan ini akan berujung pada kesialan, ketidakcocokan pasangan, bahkan perceraian. Ini telah mengakar kuat dalam tradisi lokal dan diwariskan lintas generasi.
Namun, sebuah momentum berbeda terjadi di Dusun Arakarae, Desa Laccori, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Tepat di 1 Muharram 1446 H kemarin, sepasang calon pengantin melangsungkan akad nikah yang dipimpin langsung oleh Penghulu KUA Dua Boccoe, Sulmuddin. Prosesi ini tidak hanya menjadi ikatan suci dua insan, tetapi juga simbol pembebasan dari mitos lama yang tidak memiliki dasar syariat.
Sulmuddin dalam pernyataannya menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang pernikahan pada bulan Muharram. Ia justru mengajak masyarakat untuk meninggalkan kepercayaan yang tidak memiliki landasan dalil. “Tidak ada waktu sial dalam Islam untuk menikah,” tegasnya.
Kehadiran tokoh agama seperti Penyuluh Agama Islam KUA Dua Boccoe, Muhammad Ashar, semakin memperkuat literasi keagamaan masyarakat terkait isu ini. Dalam kesempatan tersebut ia menyampaikan bahwa mitos menikah di bulan Muharram tidak hanya hidup di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Timur Tengah.
“Sebagian orang Mesir dulu juga percaya hal serupa. Tapi tidak ada dalil sahih yang melarangnya. Bahkan Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah, pada bulan Syawal, bulan yang kala itu dianggap tidak baik oleh masyarakat Jahiliyah,” ungkap Ashar.
Ia menambahkan bahwa Islam justru mengajarkan untuk tidak terpengaruh oleh takhayul dan keyakinan yang tidak berdasar. Menurutnya, dengan meningkatnya pendidikan agama dan keterbukaan informasi, masyarakat Muslim, termasuk di Bone, semakin kritis dalam menyikapi warisan budaya yang tidak sesuai syariat.
Fenomena akad nikah di bulan Muharram di Bone ini menjadi bukti bahwa masyarakat mulai berpaling dari mitos dan lebih memilih berpijak pada kebenaran ajaran agama. Momentum ini diharapkan menjadi pelopor bagi desa-desa lain, bahwa perubahan positif dimulai dari keberanian mengambil langkah berbeda yang didasari ilmu.
Semoga pernikahan yang digelar di awal tahun hijriah ini menjadi inspirasi bagi umat Islam di berbagai wilayah untuk menjunjung ajaran agama di atas tradisi yang tidak berdasar. Pasangan yang menikah pun diharapkan mengawali rumah tangga mereka dengan semangat baru yang sarat keberkahan dan kasih sayang, sebagaimana makna pernikahan dalam Islam: sakinah, mawaddah, dan rahmah.